Meneladani Sikap dan Kearifan Mbah Yai Kholil Bangkalan
Pengantar
Ditengah krisis masyarakat Indonesia pada umumnya, dan umat islam pada khusunya, sudah seyogyanya bagi kita sebagai manusia -yang masih mempunyai empati terhadap keadaan- menggali mutiara kisah dari para ulama yang hidup di zaman dahulu. Karena dari kisah-kisah perjalanan hidup mereka banyak sekali nilai dan pedoman hidup yang dapat kita aplikasikan di kehidupan sekarang ini. Diantara kisah ulama yang mesti kita pelajari kembali sejarah kelahirannya, lingkungan tempat tinggal, serta proses dalam menjawab problematika keadaan zaman saat itu salah satunya ialah Mbah Yai Kholil Bangkalan atau biasa disebut Kiai Kholil Bangkalan.
Mbah Yai Kholil merupakan ulama yang mencetak ulama-ulama yang di kemudian hari mewarnai perjalanan zaman pra kemerdekaan negeri ita hingga pasca kemerdekaan. Sebut saja diantaranya ialah K.H Hasyim Asy'ari (pemrakarsa berdirinya Nahdlatul Ulama), K.H Abdullah Mubarok (pendiri pondok pesantren Suryalaya, Tasikmalaya), K.H As'ad Syamsul Arifin (pendiri pondok pesantren Salafiyah Asembagus, Situbondo), K.H Wahab Hasbullah (pendiri pondok pesantren Tambak Beras, Jombang), K.H Manaf Abdul Karim (pendiri pondok pesantren Lirboyo, Kediri), K.H Bisri Mustofa (ayahnya Gus Mus sekaligus pendiri pondok pesantren Rembang), serta masih banyak lagi murid-murid dari Syaichona Kholil.
Melihat rekam jejak dari Mbah Yai Kholil dalam mendidik dan menjadikan murid-muridnya sebagai ulama penerus perjuangannya, kita mesti menggali lebih dalam lagi berbagai sisi kehidupan beliau untuk kita ambil hikmah dari wejangan dan perilaku beliau sewaktu masih hidup. Meskipun sudah banyak buku dan artikel yang membahas tentang Syaichona Kholil tetapi seakan itu belum berpengaruh banyak terhadap pribadi kita msing-masing. Entah apa gerangan yang terjadi, apakah karena kita hanya sekedar membaca kisahnya saja dan tidak terinternalisasi di dalam hati dan pikiran kita, sehingga sehabis selesai membaca biografi dan kisah Mbah Yai Kholil maka selesai pula ilmu yang terdapat dalam kisah tersebut.
Dari sekian banyak kisah yang menceritakan tentang perilaku di kehidupan sehari-hari Mbah Yai Kholil, bisa kita ambil satu kisah saja tentang pentingnya penghayatan hati seseorang terhadap suatu hal dibandingkan dengan kepintaran atau kefasihan terhadap sesuatu yang hanya diluarnya saja.
Contoh yang pas tentang peristiwa yang dimaksud diatas ialah saat ini banyak ajang dan perlombaan membaca dan menghafalkan ayat suci al-qur'an. Kebanyakan sisi yang dinilai dari acara tersebut ialah kefasihan, kelancaran, dan kemerduan saat melafalkan ayat-ayat alqur'an. Memang tujuan diadakannya acara lomba seperti itu bertujuan untuk membumikan lagi ayat-ayat alqur'an ke seluruh negeri dalam rangka da'wah penyebaran agama islam. Namun, yang agak disayangkan oleh admin pribadi ialah kurangnya perhatian dan penilaian tentang penghayatan makna ayat dan keyakinan akan ayat tersebut.
Bisa saja seseorang fasih melafalkan ayat suci alqur'an, lancar membaca, serta merdu ketika melagukan ayat demi ayat, tetapi belum tentu ia memahami betul makna yang terkandung dialam ayat yang dibacanya, terlebih lagi yakin dan mempercayai akan makna yang terkandung didalam ayat tersebut.
Dikisahkan pada suatu hari, seperti biasanya Mbah Yai Kholil mengimami sholat maghrib di pesantrennya. Bersamaan dengan itu datang tamu berkebangsaan Arab ke tempat beliau, orang Madura menyebut tamu dari bangsa Arab itu dengan sebutan habib.
Selesai melaksanakan ibadah sholat maghrib, Mbah Kholil menemui tamu yang datang ke tempatnya tersebut. Ditengah perbincangan diantara mereka, tamu yang dari Arab itu berujar kepada Mbah Kholil,
"Kiai, bacaan al-Fatihah antum kurang fasih," habib itu sedikit menegur.
"O, begitu," jawab Mbah yai Kholil dengan tenang.
Setelah cukup berbincang-bincang, habib beserta tamu-tamu itu dipersilahkan mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat maghrib.
"Tempat wudhu ada di sebelah masjid itu, habib. Silahkan wudhu disana," ucap Mbah Kholil sambil menunjuk arah tempat wudhu.
Baru saja selesai berwudhu, sang habib dikejutkan dengan datangnya seekor macan. Seketika habib itu terkejut dan berteriak dengan menggunakan bahasa arab yang fasih dan lancar untuk mengusir macan tersebut. Namun tetap saja macan itu masih tetap berdiri dan tidak mau beranjak pergi dari tempat wudhu.
Mendengar ada keributan, Mbah Yai Kholil pun segera beranjak menghampiri. Melihat ada seekor macan yang rupanya mejadi penyebab terjadinya keributan, seketika itu Mbah Kholil mengucapkan beberapa patah kata yang kurang fasih. Ajaibnya, setelah Syaichona Kholil selesai berbicara macan tersebut beranjak pergi menjauh.
Dengan kejadian yang baru saja dialaminya, habib itu paham bahwa sesungguhnya Mbah Kholil ingin memberikan pelajaran bahwa suatu ungkapan atau doa bukan pada fasih, atau tidak fasih, lancar atau tidak lancar, indah atau biasa saja, tetapi sejauh mana penghayatan dan keyakinan pribadi yang bersangkutan tentang apa yang diucapkannya.
Demikianlah kisah singkat tentang kebijaksanaa dan kearifan sikap yang patut kita teladani dari Mbah Yai Kholil Bangkalan. Meskipun kita dianggap oleh orang lain kurang ini, kurang itu, harus seperti ini, harus seperti itu, selagi kita meyakini dan mengetahui dengan benar apa yang sedang kita ucapkan atau lakukan, hadapi saja dengan tenang. Tidak usah berdebat atau balik memarahi orang yang "menasehati" kita itu. Sadarkan dengan arif dan contoh yang baik. Itulah yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad SAW.
Semoga ditengah gencarnya gerakan dakwah yang bersifat pemaksaan dan menggunakan kekerasan dalam berdakwah, kita masih bisa secara jernih menelaah apa yang perlu kita perbaiki dari metode tersebut, bersabar menghadapi peristiwa yang tidak mengenakkan hati, dan kemudian dengan arif dan memberikan contoh yang baik bagaimana seharusnya mengajak orang lain untuk setidaknya mendengar dan memperhatikan ajakan kita tersebut.
0 komentar:
Post a Comment